Sudah berpuluh tahun sejak Indonesia merdeka dari tahun 1945. Namun, jarang kita tahu, Jauh sebelum merdeka ada seorang misterius yang menggagaskan ide negara Indonesia untuk pertama kali. Namanya jarang terdengar, tapi dialah pejuang revolusi yang melampaui zaman.
Dia adalah bapak Republik Indonesia. Dialah Tan Malaka.
Masa
muda Tan Malaka
Tan Malaka memiliki nama asli Sutan Ibrahim. Ia memiliki gelar Datoek Tan Malaka yang ia dapatkan dari upacara adat, yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istimewa.
Ayah dari Tan Malaka memiliki nama Rasad Caniago dan ibunya bernama Sinah Simabur.
Masa kecil Tan Malaka tidak jauh berbeda dengan anak pribumi pada umumnya di saat itu. Ia mengenyam pendidikan pendidikan di sekolah rendah.
Tetapi dari kecil Tan Malaka sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang anak yang cerdas. Ia kerap kali membuat warga kampung terkesima dengan pemikirannya, termasuk GH Horensma, gurunya.
GH Horensma merekomendasikan Tan Malaka untuk meneruskan studinya ke Belanda dengan mengumpulkan sumbangan warga kampung setiap bulan.
Tan Malaka kemudian melanjutkan studinya di Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah (Rijksk Weekschool) yang berada di Belanda pada usinya yang ke 17 tahun. Ia menganggap sumbangan dari warga kampung sebagai hutan dan harus dilunasi di kemudian hari nanti, meskipun Horensma lah yang sudah melunasi hutang-hutang Tan Malaka.
Tan Malaka Ketika Kuliah di Belanda
Ada satu buku yang dibawa oleh Tan Malaka sebelum keberangkatannya yang menjadi awal baginya menjadi sangat tertarik pada revolusi. Buku itu berjudul De Fransche Revolutie.
Di Belanda, buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin sering dibaca dan menjadi dasar pemikirannya ke depan.
Sejak itulah Tan Malaka mulai membenci budaya Belanda dan mulai tertarik dengan budaya Amerika dan Jerman.
Tan Malaka di Indonesia
Sepulang dari Belanda setelah perang dunia I selesai tepatnya pada tahun 1919, Tan Malaka menjadi guru bagi anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sumatera Utara.
Tan Malaka melihat dengan mata kepalanya sendiri penderitaan dari rakyat Indonesia. Kaum buruh sering ditipu karena mereka tidak pandai berhitung, diperas keringatnya, dan diberi upah yang rendah.
Tan Malaka yang emosi melihat kenyataan itu, kemudian mulai memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) yang menjadi cikal bakal partai komunis.
Pemikirannya yang semakin radikal dan semakin kiri. Aksi pertamanya adalah keterlibatan terhadap pemogokan buruh di daerahnya.
Akibat dari aktivitas politiknya ini, ia kemudian menjadi buron bagi pemerintah kolonial Belanda. Hampir setengah hidupnya ia habiskan untuk bersembunyi.
Ia bersembunyi dengan 23 nama samaran, menjelajah 11 negara, menguasai delapan bahasa, hingga bekerja menjadi tukang ketik hanya untuk bisa bertahan.
Tan Malaka kembali ke Jawa pada tahun 1944, saat masa pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. Tan Malaka ikut bersaing dalam memperebutkan kekuasaan dengan Bung Karno-Hatta.
Pemikiran Tan Malaka
Pada saat pelariannya di Tiongkok tahun 1925, Tan Malaka berhasil menuangkan pemikirannya kedalam sebuah buku berjudul “Naar de Republiek Indonesia” yang artinya “Menuju Republik Indonesia”.
Buku ini berisi tentang konsep negara Indonesia yang ada dalam bayangannya. Ia memperkirakan situasi politik Internasional antara Jepang dan Amerika yang menyebabkan perang pasifik.
Tan Malaka juga menulis buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog). Buku ini berisi analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis, tidak logis, dan belum mampu berkomunikasi dengan baik.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka melihat kemerdekaan yang diraih belum seutuhnya. Ia pun kemudian pergi untuk menemui teman lamanya, Ahmad Soebardjo.
Banyaknya aktivitas
dari Tan Malaka yang lebih mengarah kekiri dan dinilai membahayakan, sehingga
pemerintah Indonesia mencari dan mengejarnya.
Saat melarikan diri ke selatan Jawa Timur ia tertangkap oleh Letnan Dua Sukoco. Tan Malaka bersama pengikutnya kemudian dieksekusi dengan cara ditembak mati.
Sebagai tokoh pejuang, ia memberikan contoh kepada bangsa ini tentang berjuang dengan sangat militan dan radikal (akan tetapi dengan penuh petimbangan) dengan jiwa revolusioner yang kuat. Ia percaya bahwa kemerdekaan dapat direbut dengan cara melawan penjajah tanpa sebuah perundingan. Baginya, perundingan baru bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu
Tan Malaka kemudian diangkat menjadi pahlawan Nasional pada tahun 1963. Tetapi pada saat orde baru muncul, nama Tan Malaka sengaja dicoret dan dihilangkan dari daftar pahlawan nasional. Bahkan tidak pernah dibahas dalam buku pelajaran sekolah.
0 Komentar